Seorang pemecahan batu karang mengeluhkan keberadaan dirinya.
“Ah, Tuhan tidak adil. Setiap bekerja aku pasti kepanasan.Betapa enaknya menjadi matahari. Ia tidak perlu bersusah-payah seperti aku. Jika Tuhan adil, aku ingin menjadi matahari.”
Tuhan mengabulkan permintaan pemecah batu. Dalam waktu sekejap ia berubah menjadi matahari. Betapa bangganya ia. Dengan sekuat tenaga, ia menyinarkan cahanya ke seluruh bumi hingga manusia menjadi kegerahan. Tetapi, tiba-tiba awan hitam mentup sinarnya. Cahaya yang kuat tak mampu menembusnya.
Tuhan mengabulkan permintaan matahari. Dalam sekejap ia berubah menjadi awan hitam. Dengan congkangnya, sang awan berkeliling dan menggelapkan isinya. Di tengah rasa bangganya, tiba-tiba bertiuplah angin dengan sangat kencang hingga awan hitam itu tercerai-berai. Sang awan menjadi marah.
Dalam sekejap awan berubah menjadi angin. Dengan kekuatan ia bertiup kencang sehingga banyak rumah dan pohon yang roboh. Ia merasa menjadi yang paling hebat hingga akhirnya ia menghantam batu karang. Tetapi, baru karang itu tetap tegak berdiri tidak goyah. Berkali-kali ia menghantam batu karang. Tetapi, jangankan hancur, beranjak sedikit pun tidak. Angin menjadi jengkel.
Tuhan sekali lagi mengabulkan permintaannya. Batu karang itu yakin bahwa tidak dapat yang mengalahkan. Sampai suatu hari, ada seorang laki-laki tua dengan bertelanjan dada membawa alat pemecah batu karang hingga menjadi batu-batu kecil. Batu karang menjadi batu-batu kecil. Batu karang menjadi lebih sadar bahwa ia harus kembali menjadi sadar bahwa ia harus kembali menjadi pemecah batu karang. Tuhan member pelajaran kepada orang yang tidak pernah puas dan senang membandingkan dirinya dengan orang lain.
NB: Manusia memang tidak pernah puas sehingga sering kali melihat orang lain lebih baik dari pada diri sendiri. Kita harus mengucap syukur dan menerima diri kita apa adanya.
No comments:
Post a Comment